Jumat, 16 Juli 2010

PT DI Bisa Produksi Jet Tempur


BANDUNG(SI) – PT Dirgantara Indonesia (DI) menyatakan siap membuat pesawat tempur KF-X guna mendukung kerja sama Indonesia dengan Korea Selatan (Korsel).

BUMN ini memiliki kompetensi membuat jet tempur berkemampuan di atas rata-rata. ”Desain,sumber daya manusia,teknologi, dan quality control kami menyatakan siap,”ujar Kepala Humas PT DI Rakhendi Triyatna di Bandung kemarin. Kesiapan PT DI bukanlah isapan jempol. Rakhendi menyebutkan, antara tahun 1986-1990 saat masih bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara(IPTN), pihaknya pernah memproduksi tujuh komponen untuk 40 pesawat tempur F-16. Hasilnya excellent,” tandasnya. Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan (Kemhan) Brigjen TNI I Wayan Midhio mengatakan bahwa RI akan berusaha agar pembuatan KF-X dapat dilakukan di Tanah Air, khususnya di PT DI.

Dengan demikian, diharapkan Indonesia bisa mendapat transfer teknologi. Namun di mana kepastian pesawat tempur KF-X akan diproduksi, menurut dia, sejauh ini belum dibicarakan. ”Kami berharap pesawatnya dapat dibuat di sini (Indonesia). Ini akan dibahas dalam kesepakatan selanjutnya.Kalau yang ditandatangani Pak Erris Herryanto (Sekjen Kemhan) kemarin itu baru perjanjian awal,” ujar I Wayan. I Wayan menuturkan, nota kesepahaman dengan Korsel berkaitan dengan rencana produksi bersama (joint production), riset hingga terbentuknya prototipe pesawat tempur.
Prototipe tersebut dapat diproduksi di Indonesia tahun 2020 oleh PT DI. Lebih jauh dia menjelaskan, Indonesia tidak akan mendapat lisensi dari pesawat KF-X karena rancangan awal dari jet tempur tersebut adalah milik Korsel sepenuhnya. Indonesia dalam hal ini hanya menjadi mitra kerja sama, terutama dalam hal pemasaran. Kendati demikian, dia menjamin Indonesia akan mendapat keuntungan dari kerja sama ini karena dapat menyerap teknologi, sedangkan pihak Korsel dapat memangkas biaya produksi dan terbantu di urusan penjualan produk pesawat tempur.

Dia menambahkan, selain sudah mempunyai kemampuan membuat pesawat, Indonesia dipilih Korsel karena memiliki kedekatan dengan banyak negara berkembang. ”Pasar dari KF-X yang utama adalah negara berkembang dan Indonesia sebagai negara berkembang memiliki banyak kolega dengan negara-negara lain,” katanya. Seperti diberitakan sebelumnya, Kemhan RI meneken kesepakatan dengan Korsel untuk memproduksi dan memasarkan jet tempur KF-X yang tertunda beberapa tahun karena terbentur masalah teknis dan pendanaan. Kesepakatan bukan hanya menjadi kebanggaan bangsa karena tidak banyak negara yang bisa memproduksi pesawat tempur, tapi juga untuk melepaskan ketergantungan alat utama sistem senjata (alutsista) dari negara lain.

Dalam kesepakatan yang diteken Komisioner Kementerian Pertahanan Korsel dan Sekjen Kemhan RI Marsekal Madya TNI Erris Herryanto, Indonesia akan menanggung 20% biaya dan akan memperoleh 50 pesawat yang mempunyai kemampuan tempur melebih F-16 ini. Sekjen Kemhan Erris Herryanto sebelumnya pernah mengungkapkan, anggaran yang dibutuhkan untuk proyek strategis tersebut sebesar USD8 miliar dengan jangka waktu kerja sama hingga 2020. Selama waktu itu diharapkan sudah bisa disiapkan lima prototipe.

Pengamat militer MT Arifin berharap dalamkerjasamapembuatan pesawat KF-X tersebut Indonesia bisa memastikan adanya alih teknologi.

Proses alih teknologi dapat terjadi dengan melibatkan PT DI dalam pembuatan KF-X. Menurutnya, tanpa adanya transfer teknologi, kerja sama yang memakan banyak biaya tersebut akan sia-sia,bahkan mendatangkan kerugian. ”Kita harus melihat dulu perjanjiannya seperti apa? Yang terpenting, Indonesia harus mendapatkan transfer ilmu dari adanya kerja sama pembangunan pesawat ini,”ujarnya. Dia pun menilai Indonesia sudah saatnya memproduksi sendiri materi keperluan pertahanan dan keamanan. Jika ilmuwan Tanah Air mampu dengan optimal menyerap teknologi dari Korsel, hal itu dinilainya sebagai perkembangan yang luar biasa. Selama ini Indonesia masih banyak membeli senjata, pesawat,dan kapal dari luar.

”PT DI memang begitu bagus di era Habibie. Namun setelah itu banyak ilmuwan terbaik kita yang lebih memilih bekerja di Singapura dan negara-negara lain. Ini bisa menjadi momentum yang bagus untuk PT DI,”imbuhnya. Kerja sama Indonesia-Korsel ini ternyata sudah sampai ke telinga para blogger sista (sistem pertahanan) dan Facebooker di Indonesia. Berdasarkan penelusuran harian Seputar Indonesia hingga sore kemarin,sudah ada akun Facebook dengan nama Dukung RI Produksi Pesawat Tempur Ini.

(Seputar Indonesia)
Selengkapnya...

N-250 Cikal Bakal Hakteknas


14 Juli 2010, Jakarta -- Keberhasilan uji terbang pesawat Gatotkaca N-250 karya anak bangsa untuk pertama kalinya pada 10 Agustus 1995, menjadi cikal bakal lahirnya peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas).

"Setiap 10 Agustus diperingati Hakteknas karena pada tanggal tersebut dunia telah menyaksikan keberhasilan bangsa Indonesia menerbangkan secara perdana pesawat yang diproduksi sendiri oleh putra-putri Indonesia," kata Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Suharna Surapranata di Jakarta, Rabu.
Usai membuka rangkaian peringatan ke-15 Hakteknas 2010 di gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang ditandai dengan pelepasan balon, Suharna mengatakan bahwa momen tersebut sangat penting untuk bersama-sama bercermin pada masa lalu untuk pembangunan teknologi.

"Tepat 15 tahun lalu, pesawat N-250 membumbung tinggi di langit. Saat itu secara sadar kita deklarasikan kepada dunia kemajuan kita dalam teknologi," kata salah satu pendiri Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) itu.

Pesawat N-250 adalah pesawat regional komuter turboprop rancangan asli IPTN (Sekarang PT Dirgantara Indonesia). Pesawat ini merupakan primadona IPTN dalam usaha merebut pasar di kelas 50-70 penumpang dengan keunggulan yang dimiliki di kelasnya pada 1995.

Pesawat berbaling baling enam bilah ini mampu terbang dengan kecepatan maksimal 610 km/jam (330 mil/jam) dan kecepatan ekonomis 555 km/jam yang merupakan kecepatan tertinggi di kelas turprop 50 penumpang dan ketinggian operasi 25.000 kaki (7620 meter) dengan daya jelajah 1480 km.

Keberhasilan menciptakan pesawat tersebut merupakan bukti nyata prestasi putra-putri Indonesia yang membanggakan dalam upaya mengembangkan, menerapkan serta menguasai iptek khususnya dibidang kedirgantaraan.

Keberhasilan itu juga mencerminkan bahwa sebuah sistem inovasi telah tercipta dalam proses produksi pesawat terbang di Indonesia maka pada 10 Agustus setiap tahunnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden nomor 71 tahun 1995 sebagai peringatan Hakteknas.

Meski kebangkitan teknologi nasional telah terjadi 15 tahun lalu, namun makna dari kebangkitan teknologi itu menjadi berarti jika peringatan yang dilakukan setiap tahun mampu mendorong semangat memanfaatkan dan mengembangkan teknologi dalam bingkai sistim inovasi.

"Dalam peringatan ke-15 Hakteknas kita harus tetap meningkatkan kebersamaan dan sinergi sejalan dengan pembangunan iptek nasional," kata Suharna.

ANTARA News
Selengkapnya...

Selasa, 13 Juli 2010

RI-S. Korea KFX Cooperation: The Second Best Option?


ndonesia and South Korea are getting ready to sign an MoU on the joint-development of a KFX fighter jet program (dubbed Boramae) later this year, following a letter of intent in March 2009 on Indonesian participation in a KFX study. When enacted, the MOU will provide a breakthrough for both countries in terms of bilateral defense collaboration and aircraft technology indigenization.
The defense community and members of parliament believe that the cooperation will help the revitalization of the Indonesian defense industry. MPs urged the government to conduct a feasibility test before embarking on a US$2 billion venture that spans across an eight-year period. It is expected from the collaboration that five prototypes will be built before 2020.Approximately 200+ aircraft will be manufactured for both the Indonesian and Korean Air Force. Surely there is a sense of pride creeping into every Indonesian’s minds knowing that the biggest Muslim country in the world is going to carry on an indigenize a fighter jet program, debunking the myth that only technologically advanced countries can achieve this.

Indeed, the cooperation will not only allow Indonesia to access the so-called 4.5th generation fighter jet technology, but also help South Korea preserve the bloodline for an indigenous fighter jet program since they can only afford 60 percent of the necessitate fund.

But before we indulge in a techno-nationalism fantasy, several imminent issues need to be pondered. Sarcastic remarks as to why Indonesia uses a jet fighter project as sustenance for the aerospace industry when the capacity of the Indonesian Aerospace is still limited to transport aircraft and helicopter, will inevitably raise.

Therefore, it is important to answer basic questions such as what the “indigenize fighter jet program” means in reality and how this will help revitalize the defense industry. There is also an urgency to shed some light upon the KFX program and whether it fits into the Indonesian strategic and defense-industrial interests.

The first issue is the technical and fiscal feasibility of the KFX project. The controversial project was initiated in 2001, with an estimated cost of $13 billion for the production of 120 aircraft, and has not progressed from a feasibility study since. It is acknowledged that South Korea is lacking both in technical and fiscal abilities to kick start the program, with the Korean Aerospace Industry (KAI) as a prime contractor possessing only 63 percent of technological capability needed.

Established through a merger of three companies in 1999, KAI has a modest experience of developing the indigenous KT-1 Wong Bee trainer, license-producing F-16K and joint-developing T-50 advanced trainer as well as making parts for F-15 (forward fuselage and wings).It does not have an extensive track record as it exports only the KT-1 trainer to Indonesia and Turkey, and is still unable to sell a single T-50 advanced trainer jet despite having been shortlisted for procurement in the United Arab Emirates (UAE), Israel, Greece, Singapore and the US.

The second issue is the “sovereignty” of technology contained in the KFX and sustainability of in-service operation, since the KFX will be using subsystems such as engine and avionics from third countries that might present political complication for Indonesia. The KFX will be developed from T-50 Golden Eagle, a supersonic advance jet trainer jointly developed by KAI and the US Lockheed Martin, with the latter provided the avionics system, flight control and wings. In addition to the US, it is possible that Israel also contributes through an Active Electronically Scanned Array (AESA) radar that will be built domestically in South Korea.

With the Korean Defense Acquisition Program Administration (DAPA) statement about the necessity to bring in international partner from big players such as Boeing, Lockheed Martin, EADS and Saab to help develop the KFX, obviously there will be further third country subsystems fitted into the KFX platform, which bring more complexities of supply in the future. Nevertheless, there is benefit, as Indonesia might be able to absorb world class knowledge through cooperation with those big aerospace companies and establish a position in the global supply chain.

The third issue is risk associated with developing new technology; among them are cost overruns, under performance and delay. Under the MOU, Indonesia will bear 20 percent of the initial budget worth $8 billion, but the real cost can easily stretch out along the process. The risks of cost overruns and delay have taken place in similar collaborations such as the Joint Strike Fighter (JSF) and the Eurofighter.

The JSF cost overrun is almost double its initial estimated price within 10 years of project (2001-2010), whereas the Eurofighter experienced cost overrun and “eternal delay” so bad that the participating countries decided to cut down the amount of aircraft order. Indonesia needs to be clear on how flexible they can be in terms of accepting risks incurred from participation in the project and whether the risk will be worthy of being paid off.

The fourth issue is whether the KFX project will really help revitalize the Indonesian defense industry, through job creation, transfer of technology and creation of local supply chains. Jakarta needs to be articulate in the clearest way possible about the expectation of the economic benefits possibly derived from the project.

It is not clear yet as to which model of work share is to be employed, whether it is juste retour (just return) or earned work shares (participation based on demonstrated competencies), or will Jakarta only access the know-how without participating in the production line (which is nearly impossible).
For the sake of comparison, the Eurofighter project helps create 30,000 jobs across Europe.
However, with a cost at $45-50 million per copy, it sees limited prospect of export when facing competition from the JSF and Gripen, not to mention competing Russian and Chinese products in the non-European market.

Aviation Week estimated the break-even-point of the KFX will be reached with production of at least 200-250 aircraft, and it is only if the unit price of each copy can be pushed down to $41 million that makes it possible for export. If Indonesia were to order around 50 aircraft, it is possible to negotiate 20-25 percent of total work-share based on juste retourprinciple, and this will materialize in a significant number of jobs. Without export, however, the long-term economic benefits will likely demise once the project completes.

Experts share doubt whether the KFX can really offer the cutting-edge technology as offered by 5th Generation fighters such as the JSF and the Indo-Russian PAKFA in 2020s, which means in terms of strategic calculation, the KFX may not be the best option to fight with a more technologically advanced enemy.

Facing the 5th G fighter jet race from China, Japan, and Indo-Russia, the South Korean government has a difficult time calculating a trade-off between strategic and industrial interest, between building an indigenous fighter or buy best off-the-shelf (OTS) available on the market. Indonesia may not face a similar dilemma as there is no imminent 5th G fighter race with neighboring countries, but it does not mean that Jakarta do not need to explore another value for the money option.

Another possibility of using defense acquisition as industrial policy tool is using an offsets obligation to accompany the OTS procurement. Alternatively, $2 billion will enable Indonesia to get more than a squadron of cutting-edge OTS technology. Neither joint-development nor procuring OTS will give sovereignty of supply, but the OTS does not only give the advantage of value for money because it bypasses the development cost, but it also ensures getting the attested technology that probably would serve both defense-industrial and strategic interests better.
Selengkapnya...

Minggu, 11 Juli 2010

Granat Meriam Buatan Anak Bangsa


Granat Meriam adalah salah satu alutsista munisi kaliber besar (MKB) yang digunakan oleh TNI Angkatan Darat dalam rangka menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian disampaikan Kol. Wardoyo, SB, Slp, Dirbinlitbang Pussen Armed TNI AD yang didampingi Dr. Ir. Ade Bagja, Deputi Direktur Litbang, Direktorat Produk Sistem Senjata, PT. PINDAD (Persero), pada Iptek Talk, Minggu, 11 Juli 2010, Pkl. 18.30-19.00 WIB di TVRI.Menurut Wardoyo, di TNI AD granat meriam lebih dikenal dengan munisi meriam. Granat meriam ini terdiri dari dua paket, yaitu munisi dan selongsong. Granat meriam yang terdiri dari dua paket tersebut akan dimasukkan ke dalam laras meriam atau diloading, dalam pelaksanaan tergantung dari elevasi atau sudut yang diinginkan. Penggunaan granat meriam / munisi meriam di TNI AD sudah sejak perang dunia ke dua selesai. Sampai saat ini TNI AD masih menggunakan granat meriam produk dari luar negeri, akan tetapi bukan berarti TNI AD tidak mau menggunakan produk lokal, melainkan karena PT. PINDAD sendiri sebagai perusahaan senjata dalam negeri belum membuatnya.

Wardoyo menjelaskan bahwa memang selama ini TNI AD berkiblat ke luar negeri, selama ini meriam yang digunakan memang berasal dari luar negeri. Berdasarkan pengalaman, walaupun meriam itu buatan luar negeri belum menjadi jaminan, tetap saja masih ada hambatan dalam penggunaannya di lapangan. Tetapi ternyata, granat meriam produk lokal, yaitu hasil anak bangsa di PT. PINDAD sudah memenuhi syarat-syarat tipe granat meriam yang digunakan dalam rangka pengadaan barang TNI AD, maka PT. PINDAD bisa mengikuti proses pelelangan.

Ade menjelaskan bahwa memang sampai saat ini PT. PINDAD belum membuat granat meriam. Akan tetapi keinginan untuk membuat sudah lama, apalagi PT. PINDAD sudah mempunyai fasilitas yang bisa digunakan dalam produksi granat meriam. Fasilitas ini sudah ada sejak tahun 1991, dan bisa di optimalkan. Fasilitas ini disebut dengan filling plan yang berada di divisi munisi, di kota kecil Turen, sekitar 30 km dari kota Malang Jawa Timur. Filling plan yang dimiliki PT. PINDAD di Turen itu merupakan filling plan terbesar se-Asia Tenggara. Bahkan beberapa negara tetangga tidak memiliki filling plan seperti yang dimiliki oleh PT. PINDAD. Fasilitas ini diharapkan dapat berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan TNI AD. Jadi bisa dikatakan bahwa PT. PINDAD sudah siap untuk memproduksi granat meriam, tetapi bukan memproduksi granat meriam secara keseluruhan. Fasilitas filling plan tersebut hanya untuk hulu ledaknya saja. Granat meriam terdiri dari beberapa bagian seperti, bagian selongsong, bagian propelan sebagai pendorong. PT. PINDAD tetap akan melakukan produksi secara bertahap sampai dapat memproduksi sendiri granat meriam secara keseluruhan untuk kemandirian dalam hal pengadaan alutsista dalam negeri.

Menurut Ade, di dalam bagian granat meriam ada yang diisi dengan bahan eksplosif, supaya granat tersebut memiliki efek daya ledak. Untuk mengisi bahan eksplosif hulu ledak dari granat meriam ini maka digunakanlah fasilitas filling plan. Teknologi yang digunakan adalah teknologi dari swedia, yang mana tahun 1991 sudah mulai dipakai. Kapasitas dari filling atau pengisian TNT ataupun campuran TNT ke dalam hulu ledak granat meriam ini sendiri mencapai 1.200 kg/shift, dimana dalam hulu ledak granat meriam 105 isinya hanya 2 kg TNT, berarti dalam 1 hari bisa lakukan pengisian hulu ledak granat meriam sebanyak 600 hulu ledak.
Selengkapnya...